Rabu, 24 Agustus 2011

Rabu, 17 Agustus 2011

Buku-buku sketsa nardi 
(dokumentasi penulis)

Buku sketsa selalu menemani kemanapun saya pergi, karena bagi saya buku tersebut  merupakan wadah awal sebagai pengganti bahasa verbal yang tak sepenuhnya selalu pas. Kebiasaan mengutarakan sesuatu dengan gambar memang telah lama saya lakukan, itu di karenakan karakter yang terbentuk dari kondisi keluarga yang tak memiliki kebiasan berdiskusi antar anggota keluarga (sedikit bicara), sehingga kondisi tersebut menuntut saya untuk mencari alternatif lain guna mewadahi segala macam unek-unek yang saya rasakan. Sampai saat ini kebiasaan tersebut makin menjadi-jadi, buku-buku yang penuh dengan gambar semakin banyak menumpuk di kamar. Gambar-gambar tersebut sebagian kecil ada yang saya pindah ke bidang kanvas dalam wujud lukisan, sebagian besar masih dalam wujud sketsa-sketsa yang terbendel dalam wujud buku. Bagi saya ini merupakan PR sekaligus proyek jangka panjang yang mungkin suatu saat akan saya share ke publik luas.


Selasa, 09 Agustus 2011

Nardi, Selamat Ulang Tahun Bapak, cat acrylik pada kanvas, 50x50 cm, 2011


Waktu Buat Bapak

Tanggal, bulan dan tahun merupakan tanda yang biasa di pakai untuk menandai sebuah kelahiran atau sesuatu peristiwa yang di anggap penting. Mengingatnya merupakan sebuah romantisme tersendiri yang akan mengembalikan ingatan ke jejak-jejak dimana waktu telah membuat jarak namun telah membungkusnya yang dekatnya setipis kertas tisu. Sebaris tanggal, bulan dan tahun yang tertoreh adalah bekuan waktu yang membawa bertemu kebenaran yang sebenarnya telah di bawa didalam dada sejak lahir.

Kamis, 04 Agustus 2011

Nardi, Kue untuk keluarga, 10x13 cm, spidol pada kertas
BORN

Semua akan baik-baik saja
Semua akan segera pergi berganti
Semua adalah ruang yang tipis
Semua adalah waktu yang bertaring harapan

Tak ada lagi kiyasan yang berarti
Tak ada lagi harapan berulang
Hari ini adalah jebakgan
Hari ini adalah janji hidup

Sisa takdir ini adalah misteri
Sisa senyum ini adalah duri
Hari ini aku mengingat sapaan pertama dunia
Hari ini hidup dan kelak mati

Yogyakarta 13 Desember 2010
Nardi

Selasa, 02 Agustus 2011

Nardi, Persekongkolan, 75,5x75,5 cm, cat acrylik pada kaca, 2010

Jumat, 29 Juli 2011

Nardi, Rain Party, 20x25 cm, spidol pada kertas
Peristiwa Hujan

Vespa yang kehujanan, malam yang remang, jam sepuluh malam aku duduk sendiri di depan koskosan temanku yang berjajar dengan pohon melinjo tua dikawasan wisata pinggiran kota Yogyakarta. Aku jadi teringat banyak hal tentang orang-orang dan peristiwa yang pernah singgah di sela kehidupanku waktu silam. Ketika tertarik pada seorang perempuan, ketika jumpa pada peristiwa yang mencekik nuraniku, bahkan peristiwa yang entah kapan terjadi melintas dengan emosional miris saat itu. Hujan membuat perasanku menjadi sendu, terlintas lagi ingatan tentang orang tua yang entah kejadian kapan tepatnya memikul empat lukisan dagangannya dengan keringat lelah yang menetes di wajah dan terlihat bagian lengannya yang juga basah. Ya, peristiwa yang tersimpan, seakan menantang kembali pertaruhanku tentang hidup, tannya yang tak kunjung ku tangkap. Selalu meloncat.
Aku sekarang masih duduk sendiri di depan koskossan temanku yang berjajar dengan pohon melinjo tua,  memaksa tanganku menulis yang sebenarnya entah, tapi harus aku tulis. Ini aku anggap sebuah teriakan kesunyian batin saja. Seperti orang yang haus aku rasa. Kemabali ke ingatan peristiwa, dan dudukku yang sendiri di depan koskosan temanku yang berjajar pohon melinjo tua. Aku putuskan untuk mengisi secarik kertasku dengan bercerita tentang lelaki tua pedadang lukisan.
Siang itu udara kota sangatlah panas, aku naik bis kota tua jurusan jokteng wetan, nama populer untuk menyebut daerah pojok beteng keraton tinggalan masa lampou itu. Dari jendela usang bis yang aku tumpangi dengan sisa-sisa imajinasi yang aku lamunkan, tiba-tiba pandanganku terusik oleh apa yang aku lihat sebagai sebuah peristiawa kehidupan yang kalau di katakan adalah mengerikan bagiku. Tepat di lampu merah bis yang aku tumpangi menyebranglah lelaki tua itu, empat buah lukisan di bawanya terhuyung terlihat kelelahan.
 Ngomong-ngomong cerita ini mungkin akan sedikit aku buat-buat dikarenakan waktu itu posisiku dalam bis, dan tentunya setelah lelaki tua itu melintas akupun tak bisa lagi melihat dan hanya bisa menebak apa yang akan di alaminya hari itu. Akan tetapi ingatan tentang wajahnya masih melekat erat dalam benakku, wajah yang menyiratkan kekelaman. Baiklah itu tak jadi soal, akan aku teruskan sedikit ceritanya dengan ide-ide yang ada di benakku tentang lelaki tua itu. Ia pun tetap berjalan menyusuri jalan ke timur ke daerah alun-alun selan keraton yogyakarta yang panas oleh terik matahari, sesekali orang tua itu berhenti dan menyeka keringat yang mengucur di wajahnya yang terlihat telah sayu.
Aku masih duduk di teras koskosan temanku dengan hujan yang yang masih mengguyur, kontras dengan suasana panas yang aku ceritakan. Lelaki tua yang ada di benakku tetap aku lanjutkan sebagai cerita pengisi malam beriring nyayian kodok batu. Lelaki tua yang aku anggap malang, lelaki yang aku anggap lebih buruk nasibnya di bandingkan nasibku sendiri. Ia berhenti disamping terminal bus way yang agak teduh, matanya sesekali berkedip pelan, tarikan nafasnya terkadang sangat dalam. Aku terharu lagi dibuatnya, akan tetapi aku sangat kerasan dengan suasana ini. Lelaki tua itu bangkit lagi melanjutkan langkahnya menyusuri jalan menjajakan lukisan miliknya. Tak ada suara menawarkan lukisan dari mulutnya yang kering  bergetar. Didepan kerumunan orang atau warung-warung tepi jalan sesekali ia berhenti menoleh kearah tepat didepan orang yang ada di sana, dengan bahasa tubuh ia menawarkan dagangan tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Aku tidak tau kenapa ia tidak bersuara, bisukah ia? Akurasa tidak, nampaknya ia sudah cukup berbicara selama hidupnya, hidup yang tak menyisakan ruang baik baginya walau ia telah berusaha untuk membicarakanya. Lelaki tua itu terus berjalan, terus berjalan, terus berjalan, hingga imajinasiku berhenti di titik sublim.
Aku masih duduk sendiri, peristiwa hujan malam itu membawaku ke berbagai pintu-pintu. Hujan yang membawa hawa dingin, peristiwa hujan yang mengingatkanku pada dendam, cinta, yang menyatu didalam pergumulan kesepian.

Yoyakarta, 30 juli 2011
Nardi

Kamis, 28 Juli 2011

Nardi, Hidup di rimba, 75,5x75,5 cm, cat acrylik pada triplek dan kaca, 2010