Jumat, 29 Juli 2011

Nardi, Rain Party, 20x25 cm, spidol pada kertas
Peristiwa Hujan

Vespa yang kehujanan, malam yang remang, jam sepuluh malam aku duduk sendiri di depan koskosan temanku yang berjajar dengan pohon melinjo tua dikawasan wisata pinggiran kota Yogyakarta. Aku jadi teringat banyak hal tentang orang-orang dan peristiwa yang pernah singgah di sela kehidupanku waktu silam. Ketika tertarik pada seorang perempuan, ketika jumpa pada peristiwa yang mencekik nuraniku, bahkan peristiwa yang entah kapan terjadi melintas dengan emosional miris saat itu. Hujan membuat perasanku menjadi sendu, terlintas lagi ingatan tentang orang tua yang entah kejadian kapan tepatnya memikul empat lukisan dagangannya dengan keringat lelah yang menetes di wajah dan terlihat bagian lengannya yang juga basah. Ya, peristiwa yang tersimpan, seakan menantang kembali pertaruhanku tentang hidup, tannya yang tak kunjung ku tangkap. Selalu meloncat.
Aku sekarang masih duduk sendiri di depan koskossan temanku yang berjajar dengan pohon melinjo tua,  memaksa tanganku menulis yang sebenarnya entah, tapi harus aku tulis. Ini aku anggap sebuah teriakan kesunyian batin saja. Seperti orang yang haus aku rasa. Kemabali ke ingatan peristiwa, dan dudukku yang sendiri di depan koskosan temanku yang berjajar pohon melinjo tua. Aku putuskan untuk mengisi secarik kertasku dengan bercerita tentang lelaki tua pedadang lukisan.
Siang itu udara kota sangatlah panas, aku naik bis kota tua jurusan jokteng wetan, nama populer untuk menyebut daerah pojok beteng keraton tinggalan masa lampou itu. Dari jendela usang bis yang aku tumpangi dengan sisa-sisa imajinasi yang aku lamunkan, tiba-tiba pandanganku terusik oleh apa yang aku lihat sebagai sebuah peristiawa kehidupan yang kalau di katakan adalah mengerikan bagiku. Tepat di lampu merah bis yang aku tumpangi menyebranglah lelaki tua itu, empat buah lukisan di bawanya terhuyung terlihat kelelahan.
 Ngomong-ngomong cerita ini mungkin akan sedikit aku buat-buat dikarenakan waktu itu posisiku dalam bis, dan tentunya setelah lelaki tua itu melintas akupun tak bisa lagi melihat dan hanya bisa menebak apa yang akan di alaminya hari itu. Akan tetapi ingatan tentang wajahnya masih melekat erat dalam benakku, wajah yang menyiratkan kekelaman. Baiklah itu tak jadi soal, akan aku teruskan sedikit ceritanya dengan ide-ide yang ada di benakku tentang lelaki tua itu. Ia pun tetap berjalan menyusuri jalan ke timur ke daerah alun-alun selan keraton yogyakarta yang panas oleh terik matahari, sesekali orang tua itu berhenti dan menyeka keringat yang mengucur di wajahnya yang terlihat telah sayu.
Aku masih duduk di teras koskosan temanku dengan hujan yang yang masih mengguyur, kontras dengan suasana panas yang aku ceritakan. Lelaki tua yang ada di benakku tetap aku lanjutkan sebagai cerita pengisi malam beriring nyayian kodok batu. Lelaki tua yang aku anggap malang, lelaki yang aku anggap lebih buruk nasibnya di bandingkan nasibku sendiri. Ia berhenti disamping terminal bus way yang agak teduh, matanya sesekali berkedip pelan, tarikan nafasnya terkadang sangat dalam. Aku terharu lagi dibuatnya, akan tetapi aku sangat kerasan dengan suasana ini. Lelaki tua itu bangkit lagi melanjutkan langkahnya menyusuri jalan menjajakan lukisan miliknya. Tak ada suara menawarkan lukisan dari mulutnya yang kering  bergetar. Didepan kerumunan orang atau warung-warung tepi jalan sesekali ia berhenti menoleh kearah tepat didepan orang yang ada di sana, dengan bahasa tubuh ia menawarkan dagangan tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Aku tidak tau kenapa ia tidak bersuara, bisukah ia? Akurasa tidak, nampaknya ia sudah cukup berbicara selama hidupnya, hidup yang tak menyisakan ruang baik baginya walau ia telah berusaha untuk membicarakanya. Lelaki tua itu terus berjalan, terus berjalan, terus berjalan, hingga imajinasiku berhenti di titik sublim.
Aku masih duduk sendiri, peristiwa hujan malam itu membawaku ke berbagai pintu-pintu. Hujan yang membawa hawa dingin, peristiwa hujan yang mengingatkanku pada dendam, cinta, yang menyatu didalam pergumulan kesepian.

Yoyakarta, 30 juli 2011
Nardi

Kamis, 28 Juli 2011

Nardi, Hidup di rimba, 75,5x75,5 cm, cat acrylik pada triplek dan kaca, 2010

Sabtu, 23 Juli 2011

Nardi, Pertemuan, 69 x 69 x 18,5 cm, Cat acrylik, pensil pada kayu, 2011
Nardi, Best Friend, 82,5 x 82,5 x 18 cm, Cat acrylik pada kayu, 2011

Rabu, 20 Juli 2011





nardi, Breakfast, 20x25cm, spidol pada kertas, 2009




                                                    nardi, safe zone, 20x25 cm, 2009

Selasa, 19 Juli 2011

                                            nardi, lust, 25x 20 cm, spidol pada kertas, 2009

Ini adalah salah satu karya drawing yang saya buat dan saya ambil di album drawing yang di buat pada tahun 2009.
nardi, cofee, 20x25 cm, spidol pada kertas, 2009

Senin, 18 Juli 2011

nardi, my violence, spidol pada kertas, 2010




Menjaga Putus Asa

Memang aku budak tak berpangkal, yang terikat oleh janji kehidupan.
Bernafas sesak.
Panjangnyapun hanya sebanding dengan rokok sebatang.

                                                                        Yoyakarta, 18 juli 2011

                                                                                    nardi